Membaca Bencana Sumatera dari Perspektif Ekologi Politik
"Banjir bandang dan longsor di Sumatra jadi bukti krisis ekologis akibat deforestasi dan keputusan politik."
TENTUKAN - Banjir bandang dan longsor yang meluluhlantakkan tiga provinsi sekaligus—Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat—bukanlah peristiwa alam yang datang tiba-tiba, melainkan puncak dari krisis ekologis yang lama diproduksi oleh keputusan politik. Ekologi politik mengingatkan kita bahwa setiap bencana menyimpan jejak kekuasaan: siapa yang mengeluarkan izin, siapa yang menutup mata, siapa yang mengeruk keuntungan, dan siapa yang akhirnya menjadi korban.
Karena itu, ketika deforestasi berlangsung masif, sungai kehilangan kapasitas alaminya dan kawasan pegunungan ditambang tanpa tata kelola, bencana bukan lagi sekadar ekspresi alam, melainkan hasil kerja terstruktur negara dan modal. Tragisnya, beban terbesarnya justru ditanggung oleh masyarakat yang sama sekali tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Di titik inilah, bencana tak lagi dapat dipahami sebagai “musibah”, tetapi sebagai konsekuensi politik.
Dan di tengah kenyataan pahit itu, sulit rasanya menahan perasaan. Jujur, saya menulis artikel ini dengan berlinang air mata. Saat membuka media sosial, saya menemukan tayangan yang membuat dada ini sesak: seorang ayah menangis memeluk jasad balitanya yang ditemukan tak lagi bernyawa; relawan yang mengangkat jasad seorang ibu yang dipeluk erat anak-anaknya di balik reruntuhan; keluarga yang tercerai dalam sekejap; dan jeritan-jeritan pilu dari rakyat kecil yang tak pernah bersalah. Semua itu menghantam batin dengan cara yang tak bisa dijelaskan. Tragedi ini bukan sekadar bencana alam, melainkan luka kolektif yang mengoyak nurani bangsa.
Lebih menyakitkan lagi, semua ini sebenarnya telah diperingatkan sejak lama. Artinya, tragedi ini pun tidak datang tanpa sebab. Berdasarkan catatan WALHI: sepanjang 2016 hingga 2025, tak kurang dari 1,4 juta hektare hutan di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat lenyap akibat aktivitas 631 perusahaan pemegang izin tambang, HGU sawit, BPH, geotermal, hingga PLTA dan PLTM.
Dalam kurang dari satu dekade, bentang hutan yang menjadi penyangga ekologis dirusak tanpa jeda, meninggalkan wilayah rapuh yang menunggu saat kehancurannya. Sumatra, pada akhirnya, menjelma layaknya sebuah altar pengorbanan—tempat hutan dipersembahkan atas nama pembangunan, sementara rakyat menjadi tumbal dari keputusan yang tidak pernah mereka buat.
Kerentanan ekologis yang diciptakan bertahun-tahun itu kemudian bertemu dengan pemicu meteorologis yang memperparah keadaan. BMKG mencatat bahwa salah satu pemicu meningkatnya intensitas hujan yang menyebabkan banjir besar dan longsor di Sumatra bagian Utara adalah keberadaan Siklon Tropis Senyar, sebuah fenomena atmosfer yang menguatkan curah hujan dalam waktu singkat.
Namun, dalam kerangka ekologi politik, siklon semacam ini hanya pemantik—bukan penyebab utama bencana. Fenomena meteorologis, betapa pun ekstremnya, seharusnya tidak otomatis berubah menjadi kehancuran berskala besar jika bentang ekologis kita masih sehat dan berfungsi sebagai penyangga alami.
Yang membuat dampaknya sedemikian destruktif adalah kerusakan struktural yang jauh lebih dalam: hutan yang ditebang, bukit yang ditambang, sungai yang kehilangan ruang alirannya, serta hulu DAS yang berubah menjadi kawasan industri ekstraktif. Dengan kata lain, Senyar hanya mempercepat kehancuran yang telah ditumbulkan oleh deforestasi bertahun-tahun; anginnya mungkin kencang, hujannya mungkin lebat, tetapi bahan bakar bencananya adalah kerentanan ekologis yang dibuat oleh tangan manusia sendiri.
Semua itu kini terlihat jelas dalam angka-angka kemanusiaan. Data BNPB per 3 Desember 2025 menunjukkan kedalaman luka yang kita hadapi: 770 orang meninggal, 463 hilang, 2.600 terluka, 3,2 juta jiwa terdampak, dan 1,1 juta orang mengungsi.
Aceh mencatat 277 orang meninggal, Sumut 299 orang, dan Sumbar 194 orang. Sebanyak 50 kabupaten lumpuh, ribuan rumah rata dengan tanah dan ratusan jembatan serta sekolah hancur tersapu arus. Seolah-olah alam sedang menuliskan pesan yang sekian lama diabaikan: bencana ini bukan turun dari langit, melainkan dari kebijakan yang membiarkan hutan hilang tanpa batas.
Struktur Kekuasaan yang Menciptakan Kerentanan Ekologis
Bencana sebesar ini tidak muncul dari ruang hampa. Ia lahir dari struktur kekuasaan yang mengatur, menguasai, dan mengubah lanskap ekologis Sumatra berdasarkan kepentingan ekonomi-politik. Konsesi tambang yang merangsek ke daerah aliran sungai, ekspansi sawit yang menggerus hutan dataran tinggi, pembalakan yang merata di pelbagai kabupaten, serta revisi tata ruang yang melapangkan jalan bagi korporasi—semuanya saling berkaitan dalam menciptakan fondasi bencana.
Ekologi Politik menegaskan bahwa kerentanan bukanlah kondisi alamiah, melainkan hasil dari kebijakan yang salah arah. Negara, baik pusat maupun daerah, berdiri sebagai aktor utama yang membuka pintu kerentanan melalui berbagai izin yang diberikan secara masif. Ketika hulu DAS kehilangan tutupan hutan dan kaki-kaki bukit digunduli untuk kepentingan komoditas, risiko bukan lagi kemungkinan, melainkan kepastian yang menunggu waktu.
Ribot dan Peluso dalam A Theory of Access telah lama menjelaskan bahwa akses dan kontrol atas sumber daya tidak pernah netral. Dalam hal ini yang menentukan nasib sebuah lanskap bukan seberapa banyak hutan yang tersisa, melainkan siapa yang berkuasa atasnya. Di Sumatra, kekuasaan itu diduga berada di tangan jaringan bisnis-politik yang mengatur bagaimana hutan dikonversi menjadi komoditas pasar, sedangkan masyarakat adat dan komunitas lokal hanya menjadi penonton dalam proses yang menentukan masa depan ekologis mereka sendiri.
Deforestasi tidak hanya merubah bentang alam, tetapi juga merusak mekanisme ekologis yang selama berabad-abad menjaga stabilitas tanah dan air. Hilangnya hutan berarti hilangnya akar-akar yang menahan tanah, hilangnya kapasitas penyerapan air, dan hilangnya penyangga ekologis yang menjadi peredam alami ketika hujan deras datang.
Penelitian Stanley & Kirschbaum (2017) serta Vanacker et al. (2003) menegaskan bahwa perubahan penggunaan lahan adalah faktor paling menentukan dalam memicu longsor dangkal—yang sering menjadi awal banjir bandang—terutama ketika hujan ekstrem menimpa daerah yang telah kehilangan tutupan vegetasi. Tanah yang tidak lagi ditopang oleh akar akan mudah bergerak, membawa material dalam jumlah besar ke lembah dan sungai.
Jika semua temuan ilmiah ini dibaca bersama-sama, gambaran yang muncul sangat jelas: curah hujan ekstrem bukan penyebab utama bencana, melainkan pemicu. Yang mengubah hujan menjadi tragedi adalah struktur ekologis yang telah rusak parah akibat deforestasi, konversi lahan, dan perluasan aktivitas manusia. Ketika benteng ekologis itu runtuh, hujan tinggal menunggu waktu untuk berubah menjadi kehancuran massal.
Ketidakadilan Ekologis
Di balik kehancuran ini, terdapat ketidakadilan yang sangat nyata. Mereka yang menikmati keuntungan dari eksploitasi hutan—korporasi besar, elite ekonomi, dan sebagian pejabat—bukanlah mereka yang kehilangan rumah, keluarga, atau masa depan.
Bryant dan Bailey (1997)—dalam Third World Political Ecology—menegaskan bahwa inti ekologi politik adalah mengungkap siapa yang memperoleh manfaat dan siapa yang menanggung beban. Dalam konteks Sumatra, jawabannya sangat jelas: segelintir elite menikmati keuntungan, sementara jutaan rakyat miskin memikul beban ekologis dan sosial yang membinasakan. Inilah yang disebut environmental marginalization (peminggiran ekologis). Keuntungan mengalir ke atas, tetapi penderitaan jatuh ke bawah.
Ketika pejabat publik menyebut bencana ini sebagai “musibah alam”, sesungguhnya mereka sedang mengalihkan tanggung jawab. Ekologi Politik mengingatkan bahwa narasi bukan hanya bahasa, melainkan alat kuasa. Dan dengan menyalahkan hujan, mereka menutupi jejak kebijakan yang melahirkan bencana.
Kritik Struktural dan Agenda Perbaikan Tata Kelola Bencana
Di tengah kerusakan ekologis yang begitu masif dan korban yang terus berjatuhan, kita tidak bisa berhenti hanya pada ratapan dan belasungkawa. Bencana sebesar ini menuntut perubahan struktural yang tidak dapat ditunda. Negara tidak boleh lagi bersikap reaktif atau sekadar menunggu laporan datang dari daerah yang lumpuh; ia harus hadir secara penuh sebagai pengambil keputusan tertinggi dalam penyelamatan rakyat.
Situasi ini bahkan telah disuarakan langsung oleh para kepala daerah: Gubernur Sumatera Barat secara terbuka meminta pemerintah pusat menetapkan bencana ini sebagai bencana nasional, sementara Gubernur Aceh menangis di hadapan publik karena merasa seolah-olah daerahnya mengalami “tsunami kedua”—sebuah gambaran betapa kewalahan dan putus asanya daerah dalam menghadapi skala kehancuran ini.
Karena itu, kritik dan tuntutan kebijakan berikut bukanlah keluhan biasa, melainkan seruan untuk mengembalikan kewarasan dalam tata kelola lingkungan hidup dan keselamatan publik. Tanpa langkah konkret, kita hanya sedang menyiapkan panggung bagi tragedi berikutnya.
Pertama, negara harus segera menetapkan status Darurat Bencana Nasional karena kapasitas provinsi jelas tidak lagi memadai menghadapi skala kehancuran ini. Penyelamatan korban, pembukaan akses transportasi, dan pemulihan layanan dasar membutuhkan mobilisasi sumber daya nasional.
Kedua, diperlukan audit menyeluruh terhadap seluruh izin—baik tambang, HGU sawit, maupun konsesi energi dan kehutanan—melalui kerja terpadu antarkementerian. Izin yang terbukti menyebabkan kerusakan hulu DAS dan meningkatkan risiko bencana harus dicabut tanpa kompromi.
Ketiga, negara wajib menjadikan rehabilitasi hulu DAS sebagai prioritas utama, dengan reforestasi yang berbasis riset ilmiah, penataan kembali kawasan penyangga ekologis, serta pengawasan independen untuk memastikan pemulihan benar-benar berjalan, bukan sekadar proyek seremonial.
Keempat, negara harus memastikan penegakan hukum yang tegas terhadap tambang ilegal, pembalakan liar, dan seluruh jaringan ekonomi gelap yang selama ini bekerja di balik kerusakan hutan. Tanpa pembongkaran rantai ekonomi yang merusak ini, kerusakan ekologis hanya akan berulang dalam siklus yang tak pernah putus.
Kelima, negara perlu melakukan tinjauan total terhadap RTRW di seluruh provinsi terdampak, membongkar seluruh pasal dan peta tata ruang yang membuka ruang eksploitasi di kawasan rawan bencana. Tata ruang harus dikembalikan pada prinsip dasar: keselamatan publik, daya dukung lingkungan, dan keberlanjutan jangka panjang. Tanpa itu, pembangunan hanya akan berubah menjadi skema penghancuran ruang hidup.
Pada akhirnya, bencana ini bukan tentang air yang meluap atau tanah yang longsor. Ini tentang pilihan politik yang menentukan nasib hutan, sungai, dan jutaan manusia yang tinggal di sekitarnya. Sumatra sedang menanggung akibat dari keputusan yang dibuat jauh dari desa-desa yang kini hancur. Jika hari ini kita tidak belajar, tidak marah, dan tidak bergerak, kita sedang menulis ulang tragedi yang sama untuk generasi berikutnya.